Tak ada gading yang tak retak. Sebuah kalimat yang tidak lagi asing bagi kita. Didunia ini, tak ada seorang manusia pun yang sempurna. Dan, 'tak ada seorang manusia pun' itu bermakna semuanya, tanpa kecuali. Segala sesuatu yang disebut sebagai manusia pasti tidak sempurna. Tidak peduli siapapun anda, pastilah anda mempunyai kekurangan. Saya pun demikian. Mereka juga begitu. Kita semua mempunyai kekurangan. Jadi, jika ada orang yang begitu percaya diri sehingga merasa dirinya selalu benar; maka kemungkinan dia lupa
bahwa dia adalah seorang manusia. Sebab, yang sempurna itu bukan manusia. Sehingga yang menganggap dirinya selalu benar berarti mengira diri sendiri bukan.....
Tak ada gading yang tak retak. Bagi saya, peribahasa ini memiliki kedekatan dengan sikap memaafkan dan penerimaan. Menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna, mengingatkan kita bahwa memaafkan adalah tindakan yang sangat relevan. Dan dengan sikap memaafkan itulah kita bisa menunjukkan penerimaan. Bukankah sulit bagi kita untuk menerima kehadiran orang yang tidak bisa kita maafkan? Namun, peribahasa itu juga mengingatkan kita untuk bersikap adil. Adil dalam pengertian bahwa kita patut menerapkannya kepada diri kita sendiri dan orang lain. Pada umumnya, orang cenderung toleran kepada diri sendiri, sehingga dapat selalu memahami ketika dirinya melakukan kesalahan. Namun, kepada kesalahan orang lain, tidak selalu bisa bersikap demikian.
Teman-teman, apa yang saya ungkapkan ini bukanlah situasi yang mengada-ada. Jika anda menonton film "Gie", anda tentu ingat tentang mahasiswa yang berdemonstrasi. Mereka mengkritik dan menuntut perbaikan moral para pengelola negara dan wakil-wakil rakyat. Tak berapa lama kemudian, situasi berubah. Sebagian pengkritik itu menduduki posisi penting di pemerintahan, dan menjadi anggota dewan. Apa yang terjadi kemudian? Mereka melakukan tindakan yang beberapa saat sebelumnya mereka caci maki. Saya masih teringat adegan ketika Gie megingatkan bahwa mereka sudah kebablasan. Mereka berdalih; 'jaman sudah berubah'. Jika jaman sudah berubah; apakah suatu tindakan buruk bisa berubah menjadi kebenaran? Sesungguhnya, itu bukan soal perubahan jaman; melainkan perubahan dalam cara orang itu memandang suatu situasi sehingga menentukan tindakan dan perilakunya. Sebelum menduduki jabatan itu, mereka tidak tahu situasi dan konsekuensi dari situasi-situasi itu. Tetapi, setelah mereka berada didalamnya, mereka mulai mengetahui, mengerti dan merasakan; lalu mengatakan "oh....baiklah...".
Contoh lain. Ini kisah nyata.
Bayangkan, jika kita selalu bisa memahami; mengapa orang lain melakukan kesalahan itu seperti kita memahami mengapa kita sendiri melakukannya. Setidaknya, kita bisa mengurangi sikap menghakimi kita. Sikap mudah menjatuhkan vonis kepada orang lain. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa orang-orang yang berbuat kesalahan boleh bebas dari hukuman. Setiap tindakan memiliki konsekuensi. Seperti halnya tindakan baik, maka tindakan buruk pun demikianlah adanya. Namun, mungkin kita bisa lebih bersikap proporsional. Kesalahan adalah kesalahan; tetapi penting untuk bersikap adil kepada diri sendiri dan orang lain. Memang, ada banyak sekali orang yang kita anggap sebagai penjahat. Pencuri. Perampok. Apa pun sebutannya. Kita perlu waspada kepada orang-orang yang memilih profesi-profesi negatif seperti itu.
Profesi yang merugikan orang lain. Namun, tak jarang sikap kita berlebihan. Untuk kesalahan kecil yang dilakukan oleh seseorang; kita melupakan seribu kebaikan lain yang orang itu lakukan untuk kita. Padahal, seandainya saja kita berada pada situasi yang sama dengan apa yang sedang dihadapi oleh orang tersebut; mungkin kita juga melakukan hal yang sama.
Sejauh ini, kita sudah membahas tentang apa yang biasa kita sebut sebagai 'kesalahan', alias perbuatan buruk. Sesuatu yang kita boleh menyebutnya 'tidak patut' untuk dilakukan. Sekarang, bagaimana halnya dengan 'perbedaan'. Sesuatu yang dilakukan bukan berhubungan dengan dosa; melainkan sekedar cara dan
Oh..., ternyata, kuncinya adalah penerimaan. Sebab, dengan penerimaan; perbedaan bukan lagi menjadi hambatan. Melainkan sumberdaya untuk saling menguatkan. Dan kelemahan orang lain bukan lagi menjadi masalah. Melainkan sebuah alat pengingat bahwa begitulah adanya manusia. Bukankah tak ada gading yang tak retak?
By: Dadang Kadarusman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar